Taaruf berasal dari bahasa Arab, secara harfiah maknanya adalah saling mengenal. Tetapi dalam penggunaan populer, taaruf sering berarti upaya saling mengenal antara dua calon pasangan yang akan mengikat diri dalam pernikahan. Teknisnya, taaruf adalah pertemuan antara calon suami dan calon istri untuk mengenal — baik fisik maupun sifat masing-masing.
Dalam Islam, pernikahan bukan semacam transaksi gelap dan tidak jelas — seperti orang membeli kucing dalam karung. Pasangan yang menikah justru harus saling mengenal dan saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Dalil perlunya melihat calon istri/suami antara lain tiga hadits berikut ini.
“Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka kerjakanlah”. (HR Ahmad dan Abu Daud)
“Dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bertanya kepada seseorang yang hendak menikahi wanita, “Apakah kamu sudah pernah melihatnya?” “Belum,” jawabnya. Nabi SAW bersabda, ‘Pergilah melihatnya dahulu.’” (HR. Muslim)
Mughirah bin Syu’bah RA berkata, “Aku meminang seorang wanita. Dan Rasulullah SAW bertanya padaku, “Apakah kamu sudah melihatnya?” Aku menjawab ‘Tidak.” Lalu beliau berkata, “Lihatlah dia karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.” (HR. Ibnu Majah)
Mughirah kemudian pergi rumah calon istrinya, tetapi tampaknya kedua calon mertua tidak suka. Si calon istri, yang mendengar dari dalam biliknya, kemudian berkata, “Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah.” Mughairah pun melihatnya dan kemudian mengawini perempuan itu. (HR. Ibnu Majah)
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan sebagian Hambali menganggap melihat calon istri/suami adalah sunah — karena itulah perintah Nabi Muhammad kepada Mughirah. Sedangkan secara resmi, mazhab Hambali memandangnya sebagai sebuah kebolehan, bukan sunah (Musthafa Asy-Suyuthi Ar-Rahaibani, Mathalib Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatil Muntaha, jilid 5 hal. 11).
Tentu saja, ada kaidah sesuai syariah yang harus dipatuhi saat taaruf. Apa saja? Ini dia:
1. Niat ingin menikahi
Hanya pria yang benar-benar berniat menikahi sang perempuan saja yang dibolehkan melihat. Sedangkan mereka yang cuma sekadar iseng-iseng atau coba-coba, padahal di dalam hati belum berniat menikahi, tentu tidak dibenarkan melihat.
Bahkan ulama Maliki, Syafii, dan Hambali mensyaratkan bahwa orang yang melihat calon istrinya sudah punya keyakinan bahwa wanita itu sendiri pun akan menerimanya.
Sementara mazhab Hanafi tidak mensyaratkan sampai sejauh itu, mereka hanya membatasi adanya keinginan untuk menikahinya saja, tidak harus ada timbal-balik antara keduanya (Al-Hathab Ar-Ra’ini, Mawahibul Jalil Syarah Mukhtashar Khalil, jilid 3 hal. 405).
2. Tidak harus seizin wanita
Mughirah menemui calon istrinya spontan, tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Dari sini jumhur ulama berpendapat, tak ada ketentuan bahwa wanita mesti tahu sejak awal bahwa dia akan dilihat.
Sebagian ulama berpandangan sebaiknya sang wanita memang tidak diberitahu, agar dia tampil alami di mata yang melihat, sehingga tidak perlu menutupi apa yang ingin ditutupi.
Sebab kalau wanita itu mengetahui bahwa dirinya sedang dilihat, secara naluri dia akan berdandan sedemikian rupa untuk menutupi aib-aib yang mungkin ada pada dirinya. Maka dengan begitu, tujuan inti dari melihat malah tidak akan tercapai.
Namun mazhab Maliki berpendapat kalau pun bukan izin dari wanita yang bersangkutan, setidaknya harus ada izin dari pihak walinya. Hal itu agar jangan sampai tiap orang merasa bebas memandang wanita mana saja dengan alasan ingin melamar (Shalih Abdussami’ Al-Abi Al-Azhari, Jawahirul Iklil, jilid 1 hal. 275).
3. Sebatas wajah dan kedua tangan hingga pergelangan
Jumhur ulama sepakat bahwa batasan yang boleh dilihat dalam taaruf adalah bagian tubuh yang bukan aurat.
Bila calon suami ingin melihat calon istrinya, maka dia hanya boleh melihat wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan. Sedangkan bila calon istri ingin melihat calon suaminya, maka batasan auratnya adalah antara pusar dan lututnya.
4. Tidak boleh menyentuh
Yang dibolehkan hanya melihat bagian tubuh yang bukan aurat, sedangkan menyentuh, apalagi dengan nafsu justru dilarang.
5. Melihat berulang-ulang
Pria boleh melihat calon pasangan lebih dari sekali, sebab bisa saja penglihatan yang pertama akan berbeda hasilnya dengan penglihatan kedua, ketiga dan seterusnya.
Oleh karena itu, pada prinsipnya asalkan bertujuan mulia dan terjaga dari fitnah, dibolehkan melihat calon istri beberapa kali, hingga si pria betul merasa mantap dengan pilihan.
6. Tidak boleh berduaan
Sebagian kalangan ada yang dengan sangat ketat melarang calon pasangan untuk saling bertemu muka langsung. Alasannya karena takut nanti menimbulkan gejolak di dalam hati.
Padahal sebenarnya pertemuan langsung itu tidak dilarang secara mutlak. Apabila ada ayah kandung, atau laki-laki mahram yang ikut mendampingi, maka pertemuan yang bersifat langsung boleh saja dilakukan.
Pasangan itu bisa saja berjalan-jalan sambil bercakap-cakap, misalnya sambil berbelanja, berekreasi, atau melakukan perjalanan bersama. Yang penting tidak berduaan, dan pihak calon istri didampingi oleh laki-laki yang menjadi mahramnya.
Yang dilarang adalah posisi berduaan dan bersepi-sepi di tempat yang tidak ada orang tahu.
7. Mengirim utusan untuk melihat
Untuk hal-hal yang lebih dalam, terkait dengan aib dan cacat, apabila dirasa kurang etis untuk dibicarakan secara langsung, maka masing-masing pihak baik suami atau istri boleh mengirim utusan untuk melihat secara langsung.
Pihak calon suami boleh mengirim kakak atau adik perempuannya kepada pihak calon istri, untuk melihat hal-hal yang sekiranya masih haram dilihat langsung oleh calon suami. Sehingga detail keadaan fisik calon istri bisa diketahui oleh sang utusan.
Dan demikian pula sebaliknya, calon istri boleh mengirim kakak atau adiknya yang laki-laki untuk mendapatkan informasi lebih detail tentang sang calon suami.
source: http://www.lam-alif.com