Ta’aruf cinta menjadi istilah yang kian populer seiring banyaknya kisah ta’aruf yang bikin baper berseliweran di media sosial. Hal ini menepis anggapan sebagian orang yang masih menganggap cinta hanya berawal dari tatap indah senyummu memikat pada proses pacaran.
Alih-alih mencari pasangan untuk membina rumah tangga, proses saling mengenal dalam ikatan “pacaran” tersebut sering kali kebablasan. Seperti kita ketahui, pacaran yang dibalut cinta semu merupakan salah satu jebakan yang menjadi pintu masuk zina.
Hal tersebut tentunya berbeda dengan cinta dalam ta’aruf. Dalam bahasa arab, ta’aruf berarti mengenal. Untuk mencari pasangan menuju pernikahan, proses saling mengenal dalam ta’aruf dibatasi dalam koridor syar’i agar tidak melanggar larangan agama.
Namun tidak dapat dipungkiri, masih ada orang yang meragukan keberhasilan proses ta’aruf. Apakah pernikahan yang sakinah, mawadah, dan warahmah bisa terwujud jika tidak ada cinta?
Padahal dengan landasan taqwa kepada Allah swt., dari ta’aruf ke cinta yang tumbuh setiap hari sangatlah memungkinkan. Dari cinta kita berasal dan dengan ta’aruf cinta kita memulai lembaran baru kehidupan melalui pernikahan.
Apa Itu Ta’aruf dalam Cinta?
Apa itu ta’aruf dalam cinta bisa diartikan sebagai proses saling mengenal antara dua insan yang berniat membangun rumah tangga dalam koridor syariat tanpa mengesampingkan kecocokan dan potensi timbulnya rasa cinta. Di tahap ini, masing-masing pihak berusaha memahami karakter, visi hidup, serta nilai-nilai yang dipegang calon pasangan, tanpa melibatkan rayuan atau kedekatan fisik.
Tahapan ta’aruf cinta biasanya dimulai dengan niat yang lurus dan perantara yang amanah. Kemudian berlanjut pada proses saling mengenal melalui pertemuan yang terjaga, diskusi tentang prinsip hidup, serta keterlibatan keluarga sebagai saksi dan penuntun.
Beberapa manfaat ta’aruf antara lain:
1. Menjaga Kesucian Hati dan Niat
Ta’aruf mengajarkan bahwa cinta sejati dimulai dari niat yang bersih. Tidak ada rayuan kosong atau hubungan tanpa arah, sebab setiap pertemuan diniatkan menuju pernikahan.
2. Membangun Kejujuran Sejak Awal
Dalam ta’aruf, keterbukaan menjadi kunci. Kedua calon saling menyampaikan informasi penting tentang diri dan keluarga dengan cara yang santun dan terarah. Dari sini tumbuh rasa saling percaya yang menjadi fondasi kuat sebelum akad terucap.
3. Menghindarkan dari Godaan dan Fitnah
Berbeda dari pacaran, ta’aruf menjaga agar pertemuan tetap terhormat dan tidak membuka celah fitnah. Pendamping atau wali turut hadir agar suasana tetap terjaga. Dengan begitu, cinta tumbuh dalam batas yang diridai Allah Swt.
4. Memperkuat Kesiapan Mental dan Emosional
Proses ta’aruf mendorong seseorang untuk introspeksi apakah sudah siap menjadi pasangan yang bertanggung jawab. Dari sini, kematangan berpikir dan emosi mulai terasah.
5. Menyatukan Visi dan Prinsip Hidup
Dalam ta’aruf, pembicaraan tidak berhenti pada hal romantis. Yang dibahas justru hal-hal mendasar seperti bagaimana visi rumah tangga, peran dalam keluarga, hingga cara mendidik anak. Dari cinta kita berasal dan dari kesepahaman itu keluarga tumbuh kokoh.
6. Melibatkan Restu dan Doa Keluarga
Dengan melibatkan orang tua atau wali, ta’aruf menjadi lebih terarah karena dilandasi restu dan keberkahan. Hubungan yang dimulai dengan doa biasanya lebih kuat menghadapi ujian hidup.
7. Menghadirkan Cinta yang Bernilai Ibadah
Cinta dalam ta’aruf bukan sekadar perasaan yang datang dan pergi. Ia adalah niat suci untuk membangun ibadah bersama, saling menuntun menuju kebaikan. Cinta semacam dapat menumbuhkan kedamaian hati.
Kisah Ta’aruf yang Bikin Baper
Film Tak Kenal Maka Ta’aruf menjadi salah satu contoh populer yang menggambarkan cinta tanpa pacaran namun tetap romantis dan menyentuh. Banyak yang menyebutnya sebagai kisah ta’aruf yang bikin baper, karena menghadirkan romansa yang relevan dengan liku mencari pasangan.
Tahukah kamu? Ada banyak kisah nyata yang bisa kita jadikan pelajaran dalam mencari pasangan melalui proses ta’aruf. Dari kisah mereka, kita belajar bahwa cinta dalam ta’aruf tumbuh dari niat yang bersih dan tekad untuk saling menuntun dalam kebaikan.
Kisah Ta’aruf Nabi Muhammad Saw. dan Khadijah Ra.
Cinta Rasulullah Saw. kepada Khadijah bermula dari kejujuran dan kepercayaan. Sebelum menikah, Khadijah mengenal beliau lewat perjalanan dagang dan menyaksikan akhlak serta ketulusan yang menumbuhkan rasa kagum. Lamaran pun berlangsung dengan penuh hormat. Khadijah yang terpikat oleh kejujuran beliau, mengutus sahabatnya untuk menyampaikan keinginan menikah.
Kehidupan rumah tangga mereka dipenuhi kasih, saling mendukung dalam suka dan duka. Khadijah selalu menjadi sandaran Rasulullah saat dakwah terasa berat. Dalam setiap detik kebersamaan terasa indah. Bukan karena godaan duniawi, tapi karena cinta yang tumbuh dalam ridha Allah.
Kisah Nabi Muhammad Saw. dan Khadijah menjadi teladan abadi bahwa ta’aruf adalah jalan yang suci untuk mengenal dengan hati yang terjaga. Ia bukan sekadar proses menuju pernikahan, tetapi bagian dari ibadah dan perjalanan iman.
Salman Al-Farisi: Cinta yang Berujung Keikhlasan
Kisah berikutnya datang dari sahabat Rasulullah, Salman Al-Farisi. Setelah berhijrah ke Madinah, Salman berniat menikah. Ia menyukai seorang wanita salehah dari kalangan Anshar, tapi tidak tahu adat melamar di negeri baru. Ia lalu meminta bantuan sahabatnya, Abu Darda’, untuk menemaninya mengkhitbah sang gadis.
Setelah mempersiapkan segala hal, mereka datang ke rumah keluarga wanita itu. Abu Darda’ memperkenalkan Salman dengan penuh hormat sebagai sahabat dekat Rasulullah Saw.
Sang ayah merasa terhormat, namun sesuai adab Islam, ia meminta pendapat putrinya terlebih dahulu. Dari balik hijab, sang ibu menyampaikan jawaban yang membuat semua terdiam. Putrinya menolak Salman, namun bersedia menerima lamaran Abu Darda’, sahabat yang justru datang menemani.
Perasaan manusiawi tentu hadir, tetapi Salman menunjukkan kebesaran jiwa yang luar biasa. Ia mengucap Allahu Akbar, bukan karena bahagia ditolak, melainkan karena menerima takdir dengan ikhlas. Ia bahkan menyerahkan semua mahar dan perlengkapan yang telah ia siapkan untuk pernikahan Abu Darda’. Salman pun menjadi saksi di hari bahagia sahabatnya itu.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki, tetapi tentang memberi dan merelakan. Salman menunjukkan bahwa hati yang bersih tetap mampu mencintai tanpa pamrih, bahkan saat harus melepas. Ia membuktikan bahwa dalam ta’aruf cinta bisa berujung pada kedewasaan, bukan kesedihan.
Pada akhirnya, ta’aruf cinta mengajarkan bahwa hubungan yang suci lahir dari niat yang jernih dan proses yang terarah. Bukan hanya mengenal rupa, tetapi memahami hati dan tujuan hidup bersama.
Di sinilah cinta tumbuh dalam ridha Allah yang melahirkan ketenangan dan saling menghargai, sebagaimana disebut dalam firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21).
Berawal dari tatap indah senyummu memikat, lalu berkembang menjadi tekad saling menjaga hingga Allah merestui dalam ikatan suci pernikahan. Sebab pada hakikatnya, dari cinta kita berasal berawal, dan kepada cinta yang diridhai-Nya pula hati kita kembali.



